TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menyebut empat emiten yang berpotensi delisting dari Bursa Efek Indonesia (BEI)—POSA, JKSW, LCGP, SRIL—mengkhawatirkan. Bukann hanya dari faktor kasus Asabri dan Jiwasraya yang menyeret POSA, JKSW, dan LCGP, tetapi juga karena kondisi fundamental masing-masing perusahaan.
“POSA sendiri, misalnya. Walaupun baru IPO Pada 2019 lalu, sudah banyak terseret dengan berbagai kasus hukum. Sejak dari IPO, perusahaan ini belum pernah mencatatkan keuntungan dan nilai asetnya terus turun sampai sekarang,” ujar Andri kepada Tempo, Ahad 27 November 2022.
Sementara itu, SRIL saat ini masih menunggu hasil Peninjauan Kembali (PK) yang dimohon oleh kreditur SRIL mengenai homologasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Jika PK tersebut ditolak, Andri melanjutkan, SRIL kemungkinan suspensinya dicabut setelah melakukan public expose.
“Namun SRIL dilihat dari akumulasi kerugian dan defisit modalnya memang sudah sangat parah. Hal ini tidak dibantu dengan proyeksi penurunan daya beli di tahun mendatang yang berpengaruh besar pada industri tekstil,” ujar Andri.
Adapun JKSW dan LCGP sudah lebih dari 24 bulan tersuspensi, tetapi belum delisting. Menurut Andri, ada kemungkinan besar BEI masih menunggu hasil dari proses hukum kasus Asabri. Sebab, aset mereka banyak yang disita sehingga perusahaan tidak mau mengeluarkan laporan keuangan karena tidak bisa mencatatkan aset tersita sebagai aset mereka.
“Status mereka yang tersuspensi menyulitkan mereka untuk mencari permodalan untuk memperbaiki kinerja perusahaan mereka yang sulit membaik setelah terjerat kasus mega skandal tersebut,” ucap Andri.
Lebih lanjut, Andri mengatakan bahwa apabila saham saham-saham tersebut akhirnya delisting, perseroan harus mengadakan pembelian kembali atau buyback saham-saham yang dimiliki oleh pemegang saham minoritas. Hal ini sebagaimana Peraturan OJK Nomor 3/POJK.04/2021.
Selanjutnya: Saran untuk Investor Ritel yang masih punya sahamnya ...